PEKANBARU ,Bandamuaonline.com — Dugaan persaingan tak sehat mencuat di lingkungan SMK Negeri 3 Pekanbaru. Kepala sekolah dan Komite Sekolah diduga sama-sama menjalankan pengadaan seragam siswa baru tahun ajaran 2025/2026.
Temuan ini menimbulkan sorotan publik karena kedua pihak disebut memiliki jalur dan harga berbeda dalam penyediaan seragam resmi sekolah.
Di belakang sekolah terpampang spanduk bertuliskan “Tempat Pengukuran Baju Anak Kelas X SMKN 3 Pekanbaru” lengkap dengan daftar harga dan nama dua penanggung jawab, Bu Mira dan Bu Sari.
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kepala SMK Negeri 3 Pekanbaru, Mairustuti, membenarkan keberadaan spanduk tersebut, namun menegaskan pihak sekolah tidak terlibat dalam pengadaan.
“Spanduk itu dibuat oleh Bu Mira dan Bu Sari, sesuai nama yang tertulis di spanduk. Sekolah tidak tahu-menahu soal pengadaan baju seragam. Kami sudah menyampaikan agar siswa kelas X menjahit pakaian di mana saja, bebas penjahitnya,” ujar Mairustuti, Rabu (29/10/2025).
Namun hasil penelusuran tim media menemukan fakta lain. Tidak jauh dari lokasi spanduk, terdapat sebuah warung kecil yang dijadikan tempat pengukuran pakaian seragam siswa baru.
Salah satu anggota Komite yang berada di lokasi mengaku bahwa kegiatan pengukuran itu merupakan inisiatif dari pihak Komite Sekolah, bukan arahan dari Kepala Sekolah.
“Kami dari Komite, bukan suruhan Kepala Sekolah,” kata seorang wanita yang ditemui tim investigasi di lokasi.
Lebih lanjut, pihak Komite menjelaskan bahwa pengukuran dan penjahitan yang mereka lakukan berbeda dengan versi Kepala Sekolah.
Menurut mereka, Kepala Sekolah memiliki rekanan penjahit sendiri di kawasan Jalan Kuini, dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan versi Komite.
“Kepala sekolah mengambil tukang jahit dari Jalan Kuini. Kalau kami diurus langsung oleh Komite. Jadi harga juga beda. Kepala sekolah menjual pakaian olahraga Rp200 ribu per stel, sedangkan kami hanya Rp160 ribu,” tegas perwakilan Komite tersebut.
Komite mengaku telah memperingatkan Kepala Sekolah agar tidak ikut campur dalam urusan pengadaan seragam siswa baru.
Mereka juga mendapat dukungan dari Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia (FSPKSI) di Pekanbaru, yang turut menyoroti dugaan praktik ganda pengadaan di sekolah negeri tersebut.
“Kami sudah peringatkan Rabu pagi (29/10/2025). Kalau Kepala Sekolah masih bandel, kami tidak segan-segan melapor ke pihak terkait,” ungkap salah satu anggota Komite.
**Aturan Jelas: Seragam Sekolah Tanggung Jawab Orang Tua, Bukan Kewajiban Sekolah**
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pengadaan pakaian seragam menjadi tanggung jawab orang tua atau wali peserta didik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (1)
Selanjutnya, Pasal 13 menegaskan bahwa sekolah tidak boleh mewajibkan atau memaksakan pembelian seragam baru setiap tahun atau setiap kenaikan kelas.
Sementara Pasal 14 menyebutkan, kepala sekolah yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari peringatan lisan, tertulis, penundaan kenaikan pangkat atau jabatan, hingga sanksi lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Artinya, setiap bentuk pengadaan seragam yang diatur atau dikendalikan oleh pihak sekolah, apalagi disertai nilai jual tertentu, berpotensi melanggar aturan resmi Kemendikbudristek.
**Analisis Redaksi: Benang Kusut di Balik Seragam Sekolah Negeri**
Kasus yang muncul di SMKN 3 Pekanbaru membuka kembali perdebatan klasik di dunia pendidikan: apakah seragam sekolah masih menjadi simbol kedisiplinan, atau justru ladang bisnis terselubung?
Di atas kertas, aturan sudah jelas — seragam bukan proyek, dan bukan pula sumber keuntungan. Namun di lapangan, realita sering berbeda.
Ketika kepala sekolah dan komite sama-sama merasa “berhak” mengelola pengadaan, yang jadi korban adalah orang tua dan siswa yang akhirnya dipaksa memilih pihak mana yang harus diikuti.
Pendidikan seharusnya melahirkan kejujuran dan keteladanan, bukan persaingan ekonomi di balik baju putih abu-abu.
Jika kasus ini benar adanya, maka Dinas Pendidikan Provinsi Riaumesti bertindak cepat tidak hanya memanggil pihak terkait, tapi juga menertibkan semua praktik serupa di sekolah negeri lain agar dunia pendidikan tetap bersih dan berwibawa.
**Redaksi menutup dengan pesan:**
“Seragam bukan sekadar pakaian, tapi cermin moral sekolah.”***Bmc(Rls/Red*)
